Seratus Ribuan Kakak
“Bu ....Ibu...besok
Kakak sekolah lhoooo”, sambil berlari dan memeluk ku dari belakang Si Kakak
mengabarkan bahwa esok ia akan ke sekolah kembali. Aku tersenyum melihat
kepalamya yang menyembul dari belakang punggungku sembari memperlihatkan
gigi-giginya yang belum move on dari keompongannya. “Iya, murid murid ibu juga
sekolah besok, kataku sembari mengusap kepalanya. Ada binar binar bahagia di
balik kelopak matanya, aku tahu Kakak (panggilanku kepadanya) pasti senang bisa
sekolah lagi. Aku akui walau aku seorang guru yang selalu berupaya memenuhi
kebutuhan belajarnya namun suasana kelas serta kehadiran gurunya tak dapat aku
gantikan. Begitupun dengan kata bosan yang sering Ia lontarkan, semoga
Pembelajaran Tatap Muka terbatas ini bisa sedikit menghilangkan kejenuhannya
dengan rutinitas di rumah.
“Buuuu...katanya lagi dengan
pelan sambil menatap wajahku. Aku tahu kalau Kakak sudah berbicara pelan itu
artinya ada hal yang serius yang ingin disampaikannya. “Kenapa kakak?, tanyaku
menyelidik . “Hmmmmhhhhh.....berapa ya harga sepatu?, katanya kemudian. “Tergantung
Merknya sih Kak, ada yang murah ada yang mahal juga sih”kataku lagi. Aku pun
mulai peka kearah mana bakalan omongan si Kakak. Betul saja, Ia bercerita kalau
sepatu yang ia gunakan sudah tidak muat lagi, dua tahun ini tak bisa kupungkiri
bahwa Kakak makin bertumbuh dan berkembang, termasuk ukuran sepatunya. Aku
menghela napas, anak imutku kini makin beranjak besar saja hanya aku sadar aku belum
bisa melepaskan hobby ku untuk selalu menciumi pipi pipi lembutnya. “Bu....boleh
ga kakak beli sepatu? , kakak punya kok uang seratus ribu” katanya lagi. “Ohhhh,
iya boleh kak, nanti pakai uang Ibu aja kak” kataku sembari meraih tangannya. “Ga
bu, kakak punya uang kok” katanya bersikeras. Entahlah apa aku yang terlalu
lebay atau melow, mendengar itu aku begitu terharu, aku ingat diriku sewaktu
kecil, serupa kakak, akupun akan bertanya dulu pada ibuku apakah punya uang
atau tidak ketika aku menginginkan sesuatu. Aku sama sepertimu nak, atau
kamulah yang sama sepertiku?.batinku yang tanya itu hanya menegaskan bahwa gen
itu yang kita wariskan. Tiba tiba si Bapak yang mungkin mendengar pembicaraan
kami datang dan tersenyum sambil menanyakan sepatu si Kakak. “Kak sepatu kakak
udah ga cukup lagi ya?...yuk...kita beli sepatu yukkk, sambil jalan jalan. Si
Bapak mulai membuat rencana perjalanan mereka berburu sepatu. “Tapi nanti kalau
ga dapet gimana Pak? Biasanya Kakak belinya sama Ibu”...Ia melirikku tanda
meminta pendapat. “Nanti kalau ga dapet dan ga ada yang kakak suka kan bisa ga
usah dibeli, kita pergi aja dulu...liat liat” Bapak mulai membujuk kakak. ‘Iya
dah Pak, Kakak siap siap dulu ya”, dengan berlari-lari kecil Kakak mengganti
pakiannya dan duduk manis di Vario hitam bapak sambil memeluk pinggang Bapak
yang lumayan besar. Sambil melambai kututup pintu gerbang depan.
“Bu.....ibu...lihat
ini.......”tergopoh gopoh Ia berlari menuju arahku. Kulihat Kakak ditangan
kananya menenteng kotak sepatu dan tangan kirinya ada Kotak merah dengan aroma
lezat, “Kakak udah punya sepatu baru Bu....”. Makasi ya Bu, makasi ya Bapak”....Ia
menyelinap ke kamarnya sembari memasukkan kembali uang seratus ribuan ke dalam
celengan kaleng bergambar Elsa.
Semoga anak anak lain juga bisa bersukacita menyambut
pembelajaran tatap muka yang walau hanya terbatas namun ini akan menjadi awal
yang baik untuk mengembalikan roh pendidikan...karena sejatinya ada rindu yang
tak terbendung antara kami para Guru dengan para murid murid kami. Selamat
kembali ke sekolah Kakak,.......
Keren ceritanya bu Damay...
BalasHapusterimakasih
Hapus