Senin, 06 September 2021

Pojok Rumah (Karya : Ni Putu Damayanti,S.Pd)

 


Pojok Rumah

(Karya : Ni Putu Damayanti,S.Pd)

Baru sebulan ini aku menempati Rumah baru yang dibuatkan suamiku untukku dan anka anakku. Rumah sederhana namun cukup luas untuk kami bisa menghabiskan banyak waktu bercengkrama. Rumahku sering kusebut rumah mewah, bukan karena furniture atau desainnya tapi terlebih karena letaknya yang mepet sawah. Sebulan tinggal di lingkungan baru aku sudah mulai akrab dengan para tetangga juga anak anak kecil yang sering bermain di sekitar rumah.

Klentong klentong...setiap pagi dan sore suara itu akan selalu hadir di depan rumahku, suara yang sangat disukai oleh anak laki-lakiku, suara lonceng Sapi, karena rumahku rumah mewah maka aku sering mendengar lalu lalang petani juga para sapinya. Ini membuat jiwa petualang si kecil makin berkelebat-kelebat. Setiap suara itu datang dengan suara cadelnya ia selalu berseru “Iiiibuuu....Ibbuuu, capii, capiii..ituuutt, itut.”katanya sambil menunjuk nunjuk sapi yang lewat dituntun seorang Bapak  berperawakan tegap dengan capil di kepalanya. Aku tersenyum dan menyapanya, tak hanya bapak itu terkadang lewat pula seorang kakek dengan aritnya atau bapak dengan membawa sekeranjang rumput di pundaknya. Betapa senang anak lanangku itu, mulutnya tak pernah berhenti berceloteh menunjuk nunjuk setiap petani yang lewat di depan rumah mewah kami. Namun setelah melihat ketiga lelaki yang sering lalu lalang di depan rumahku aku jadi merasa gelisah, hadirnya rasa gelisah ini bukan karena aku takut mereka akan menculik anakku bukan pula aku takut mereka akan merampok rumahku atau bukan karena mereka akan jatuh cinta padaku (hehhe, kalau ini kemungkinan yang kebangetan), tapi aku merasa terenyuh melihat apa yang mereka pakai dalam keseharian mereka. Kadang mereka menggunakan baju camping dan lebih parahnya celana yang dipakai robek pada bagian yang maaf mungkin mmeperlihatkan bagian belakang yang agak sensitif. Untuk sebagian orang mungkin akan tertawa melihatnya. Tapi jujur tak sedikitpun ada tawa terurai dari bibirku. Hanya helaan yang timbul dari rasa iba di dada.

Pagi itu setelah selesai memasak dan menyapu halaman depan dan belakang rumah aku coba untuk mencari-cari beberapa pakaian suamiku yang sekiranya tak digunakannya lagi. Dua tahun belakangan ini memang tubuh suamiku agak menggendut mengikuti tubuhku yang seirama dengannya. Aku memantapkan diri bahwa aku pasti akan dapat menemukan beberapa potong yang tidak muat lagi atau yang tidak digunaknnya lagi. Betul saja di tumpukan kain kain usang aku menemukan pakaian pakaian suamiku yang rasanya sudah tidak digunakannya lagi. Aku mengambil beberapa kaos dengan tulisan-tulisan besar dan memasukkannya ke dalam plastik transparan. Kuisikan tulisan didalamnya “Silahkan diambil bagi yang membutuhkan” Aku harus menggunakan cara ini agar keinginan menolongku tidak menimbulkan cedera di hati dan harga diri mereka, apalagi aku adalah orang baru di lingkungan ini aku dan belum tahu pasti karakter karakter lelaki lelaki itu.

Pelan-pelan  kubuka pintu gerbang ,kulihat kekiri dan kekanan. “Ahhh masih sepi” kataku. Kuletakkan bungkusan itu di pojok rumahku. Besar harapannku bahwa targetku akan sesuai harapanku. Paling tidak merekalah yang akan mengambil bungkusan itu. Karena aku yakin tetanggaku yang kebanyakan guru dan pegawai swasta tak kan mungkin meggubris bungkusan itu. 1 jam setelah aku menaruh bungkusan itu aku mulai kepo untuk melihat apakah sudahnada yang mengambilnya, kusembulkan kepalaku diantara pintu gerbang dan menoleh..”Duuh..kok masih ada ya?, tanyaku membatin sendiri, sampai tiga kali aku bolak balik tapi bungkusan itu tetap rapi menghuni pojok rumahku. Akhirnya aku lelah dan pasrah, “baiklah kalau tak ada juga yang mengambil artinya aku sendirilah yang harus mengambilnya lagi. Kemudian aku beraktivitas seperti biasa, sampai aku lupa dengan bungkusan itu lagi.

Keesokan paginya, kudengan suara Klentong...Klentong.....si kecil sudah merengek minta diantar keluar, akupun buru-buru memakai sandal jepitku dan menuntunnya menuju ke depan, terlihat dua ekor sapi gemuk gemuk tampak dari arah selatan rumahku, aku tersenyum ke arah bapak dengan capilnya, ada bahagia yang menyembul di hatiku, menyapa sekilas bapak itu dan mengajak si kecil mengikuti arah sapi yang akan dibawa merumput di lahan kosong di sekitar rumahku. Kubaca pelan tulisan-tulisan besar pada punggungnya, sembari menggenggam tangan sikecil mengikuti lenggak lenggok si sapi...”Buuuu....Ibuuuu...capiii,..halan halan yuukkkk”...riang celotehnya bersama senyum yang menyembul samar kulihat pada wajah yang tertutup capil.


2 komentar:

MEMBANGUN JIWA DAN RAGA SISWA MELALUI SEKAR GANA ( Inovasi Implementasi Kurikulum Merdeka di SMP Negeri 1 Amlapura)

                             MEMBANGUN JIWA DAN RAGA SISWA MELALUI SEKAR GANA  ( Inovasi Implementasi Kurikulum Merdeka di SMP Negeri 1 Amla...