Pojok Rumah
(Karya : Ni Putu Damayanti,S.Pd)
Baru
sebulan ini aku menempati Rumah baru yang dibuatkan suamiku untukku dan anka
anakku. Rumah sederhana namun cukup luas untuk kami bisa menghabiskan banyak
waktu bercengkrama. Rumahku sering kusebut rumah mewah, bukan karena furniture
atau desainnya tapi terlebih karena letaknya yang mepet sawah. Sebulan tinggal
di lingkungan baru aku sudah mulai akrab dengan para tetangga juga anak anak
kecil yang sering bermain di sekitar rumah.
Klentong
klentong...setiap pagi dan sore suara itu akan selalu hadir di depan rumahku,
suara yang sangat disukai oleh anak laki-lakiku, suara lonceng Sapi, karena
rumahku rumah mewah maka aku sering mendengar lalu lalang petani juga para
sapinya. Ini membuat jiwa petualang si kecil makin berkelebat-kelebat. Setiap suara
itu datang dengan suara cadelnya ia selalu berseru “Iiiibuuu....Ibbuuu, capii,
capiii..ituuutt, itut.”katanya sambil menunjuk nunjuk sapi yang lewat dituntun
seorang Bapak berperawakan tegap dengan
capil di kepalanya. Aku tersenyum dan menyapanya, tak hanya bapak itu terkadang
lewat pula seorang kakek dengan aritnya atau bapak dengan membawa sekeranjang
rumput di pundaknya. Betapa senang anak lanangku itu, mulutnya tak pernah
berhenti berceloteh menunjuk nunjuk setiap petani yang lewat di depan rumah mewah
kami. Namun setelah melihat ketiga lelaki yang sering lalu lalang di depan
rumahku aku jadi merasa gelisah, hadirnya rasa gelisah ini bukan karena aku
takut mereka akan menculik anakku bukan pula aku takut mereka akan merampok
rumahku atau bukan karena mereka akan jatuh cinta padaku (hehhe, kalau ini
kemungkinan yang kebangetan), tapi aku merasa terenyuh melihat apa yang mereka
pakai dalam keseharian mereka. Kadang mereka menggunakan baju camping dan lebih
parahnya celana yang dipakai robek pada bagian yang maaf mungkin mmeperlihatkan
bagian belakang yang agak sensitif. Untuk sebagian orang mungkin akan tertawa
melihatnya. Tapi jujur tak sedikitpun ada tawa terurai dari bibirku. Hanya helaan
yang timbul dari rasa iba di dada.
Pagi
itu setelah selesai memasak dan menyapu halaman depan dan belakang rumah aku
coba untuk mencari-cari beberapa pakaian suamiku yang sekiranya tak
digunakannya lagi. Dua tahun belakangan ini memang tubuh suamiku agak
menggendut mengikuti tubuhku yang seirama dengannya. Aku memantapkan diri bahwa
aku pasti akan dapat menemukan beberapa potong yang tidak muat lagi atau yang
tidak digunaknnya lagi. Betul saja di tumpukan kain kain usang aku menemukan
pakaian pakaian suamiku yang rasanya sudah tidak digunakannya lagi. Aku
mengambil beberapa kaos dengan tulisan-tulisan besar dan memasukkannya ke dalam
plastik transparan. Kuisikan tulisan didalamnya “Silahkan diambil bagi yang
membutuhkan” Aku harus menggunakan cara ini agar keinginan menolongku tidak
menimbulkan cedera di hati dan harga diri mereka, apalagi aku adalah orang baru
di lingkungan ini aku dan belum tahu pasti karakter karakter lelaki lelaki itu.
Pelan-pelan
kubuka pintu gerbang ,kulihat kekiri dan
kekanan. “Ahhh masih sepi” kataku. Kuletakkan bungkusan itu di pojok rumahku.
Besar harapannku bahwa targetku akan sesuai harapanku. Paling tidak merekalah
yang akan mengambil bungkusan itu. Karena aku yakin tetanggaku yang kebanyakan
guru dan pegawai swasta tak kan mungkin meggubris bungkusan itu. 1 jam setelah
aku menaruh bungkusan itu aku mulai kepo untuk melihat apakah sudahnada yang
mengambilnya, kusembulkan kepalaku diantara pintu gerbang dan
menoleh..”Duuh..kok masih ada ya?, tanyaku membatin sendiri, sampai tiga kali
aku bolak balik tapi bungkusan itu tetap rapi menghuni pojok rumahku. Akhirnya
aku lelah dan pasrah, “baiklah kalau tak ada juga yang mengambil artinya aku
sendirilah yang harus mengambilnya lagi. Kemudian aku beraktivitas seperti
biasa, sampai aku lupa dengan bungkusan itu lagi.
Keesokan
paginya, kudengan suara Klentong...Klentong.....si kecil sudah merengek minta
diantar keluar, akupun buru-buru memakai sandal jepitku dan menuntunnya menuju
ke depan, terlihat dua ekor sapi gemuk gemuk tampak dari arah selatan rumahku,
aku tersenyum ke arah bapak dengan capilnya, ada bahagia yang menyembul di
hatiku, menyapa sekilas bapak itu dan mengajak si kecil mengikuti arah sapi
yang akan dibawa merumput di lahan kosong di sekitar rumahku. Kubaca pelan
tulisan-tulisan besar pada punggungnya, sembari menggenggam tangan sikecil
mengikuti lenggak lenggok si sapi...”Buuuu....Ibuuuu...capiii,..halan halan
yuukkkk”...riang celotehnya bersama senyum yang menyembul samar kulihat pada
wajah yang tertutup capil.
Asik...dapet hiburan baru....hee.
BalasHapusWkwkwkkkkkkk
Hapus