Kamis, 19 Agustus 2021

Kelompok untuk Rina

 

Kelompok Untuk Rina

Karya : Ni Putu Damayanti,S.Pd


Aku adalah seorang Guru IPA di sebuah SMP di kota amlapura kabupaten paling Timur Provinsi Bali, sebelum aku ikut suami untuk pindah ke kota ini semula aku adalah Guru di sebuah SMA Negeri. Perbedaan tempat mengajar dan usia perkembangan siswa yang berbeda membuat aku harus sesegera mungkin beradaptasi dengan siswa siswi disini. Tidak mudah memang, namun sebagai seorang Guru aku harus siap menghadapi berbagai tipe murid dan permasalahan yang harus aku dapatkan solusinya. Hari pertama aku memasuki kelas IX G, aku dikejutkan oleh suara ribut dari kelas tersebut, kudengar suara anak laki laki berteriak teriak untuk menyuruh teman-temannya agar diam, karena melihatku sudah ada diambang pintu kelas. “Selamat pagi anak anak” sapaku untuk mengubah fokus mereka ke arahku, serentak mereka menjawab “ selamat pagi Bu...”. Segera kuperkenalkan diri dan kuselipkan candaan di sela selanya agar suasana di kelas menjadi lebih nyaman. Mulailah aku mengajar materi IPA di depan kelas, selain itu aku utarakan bahwa penilaian nanti meliputi nilai sikap, nilai kognitif atau pengetahuan dan keterampilan. Tak lupa aku juga meminta mereka membuat kelompok belajar untuk kegiatan praktikum IPA, aku meminta kelompoknya dicampur saja ada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Aku berikan waktu mereka untuk mencari sendiri teman teman sekelopmpoknya, lalu aku meminta ketua kelompok yang terpilih menyetorkan nama-nama kelompoknya.

Sambil mengisi jurnal harian guru aku mengamati perilaku muridku, ada yang berebut temannya, ada juga yang sudah mencatat nama nama kelompoknya. Namun di tengah keseruan mereka mencari anggota kelompok ada seorang anak perempuan yang sedari tadi tidak bergeming dari tempat duduknya. Ada bulir bening yang mengaca di pelupuk matanya, kuperhatikan anak itu dari ujung rambut samapai kakinya, rambutnya panjang terjalin dua dengan rapi, postur tubuhnya ramping, dengan kaca mata yang menghias wajahnya yang mungil. Belum selesai aku mengamatinya, bel tanpa waktunya istirahat berbunyi, aku segera mengakhiri pelajaran dan meminta nama kelompok yang sudah mereka buat untuk dikumpulkan. Bergegas aku menuju ruang guru, sambil menyambar botol minumku yang kuletakkan diatas meja, kuperiksa nama nama siswa di kelas IX G tersebut untuk memastikan semua sudah ada di dalam kelompoknya masing-masing. Betapa terkejutnya aku ketika aku baru sadar bahwa ada satu siswa yang tidak tergabung dalam kelompok manapun di kelas tersebut. “Rina Natasya Ayundari”, kueja nama siswaku perlahan, dengan rasa penasaran aku buka laptopku dan kucari file daftar nilai kelas VIII semester lalu di file Drive SMP ini, kucari nama Rina Natasya ayundari, lalu kulihat deretan angka angka yang tertulis disana, semua hanya KKM, tidak ada nilai yang bagus semua hanya rata rata saja.bahkan untuk nilai senibudaya dan prakarya berada di bawah KKM.  Tiba tiba dari arah belakang aku dikejutkan oleh suara yang memanggilku. “Permisi Bu Guru”, sapa seseorang. Aku memalingkan kepalaku dan tersenyum menyambut orang tersebut yang tak lain adalah siswa di kelas IX G yang tadi sempat kuamati. “Ayo nak silahkan duduk dulu!”kupersilahkan siswaku untuk duduk di kursi didepan mejaku sehingga posisi aku dan anak itu saling berhadapan. “ Ada apa nak?, kamu mencari Ibu” kataku menimpali. Dengan gugup dan ragu anak itu mulai berbicara” Maaf Bu, boleh tidak saya tidak berkelompok dalam membuat tugas praktikum Bu?, saya ingin belajar sendiri saja Bu” katanya terbata. “Sebentar, apa kamu Rina?’tanyaku padanya. “Iya betul Bu, maaf tadi saya belum sempat memperkenalkan nama saya. “Kenapa kamu tidak ingin belajar berkelompok Nak? “aku menelisik keinginan anak itu sembari kembali kulanjutkan pengamatanku kepadanya yang sempat terhenti waktu di kelas, aku terhenyak ketika melihat kulit dari Rina, kulitnya putih, namun ada kelupasan kelupasan kulit ari yang hampir menganga di sekujur tubuhnya, kuperhatikan kelopak mata Rina juga jarang berkedip kendatipun ia sedang berbicara. Selain itu ada aroma tidak sedap yang tercium oleh hidungku, yang aku pastikan itu berasal dari tubuh Rina. Aku segera tersadar bahwa Rina mengidap penyakit Ichtyosis, atau yang biasa disebut penyakit kulit bersisik, sebagai Guru IPA apalagi basicku adalah Ilmu Biologi aku sempat belajar bahwa beberapa penyakit ada yang menular dan ada juga yang tidak menular dan diturunkan dari Gen Orang tuanya, atau disebut penyakit Genetis, salah satu penyakit genetis atau bawaan dari lahir adalah penyakit kulit yang diderita oleh Rina. Aku mengerti sekarang mengapa Rina ingin belajar sendiri saja dan tidak ingin berkelompok, mungkinkah dia malu dengan kondisi tubuhnya?, aku bertanya dalam hati.

“Saya takut menulari teman teman Bu, saya punya penyakit kulit’, sambil meremas jarinya ia menuturkan masalahnya padaku. “Teman-teman juga menjauhi saya dan tidak berani dekat dekat saya, dari kecil saya memang sudah sering dikucilkan, saya sering sedih kadang saya merasa kesepian, ingin juga punya teman bercanda dan bermain......” ia terdiam sejenak sembari menelan ludahnya, “ Tapi tidak mengapa sih Bu saya rela kok, asal saya tidak menularkan penyakit ini pada teman teman saya”. Aku menghela napas lalu aku mulai berpikir bagaimana cara menolong Rina, aku tahu siswa siswaku mungkin hanya salah paham dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rina, karena minimnya pengetahuan mereka. besok aku akan ke kelas itu dan menemukan kelompok untuk rina,apalagi materi yang kuajarkan besok adalah tentang genetika, aku akan mengedukasi mereka, gumamku dalam hati. Aku jadi sedikit paham bisa saja selama ini Rina tertekan dan tidak bisa belajar maksimal karena ia tidak punya teman diskusi sehingga nilai nilainya selama ini aku kategorikan sangat jelek. Akhirnya aku menyuruh Rina untuk kembali ke kelasnya, dan aku berjanji besok akan membuat keputusan untuk Rina mengenai kelompok belajarnya. Rina yang masih dalam keadaaan bingung menuruti perintahku, dengan langkah lemah kulihat ia menyusuri koridor kelasnya dan menghilang di balik pintu.

Keesokan hari, aku kembali mengajar di kelas IX G aku dengan semangat membawa buku tes untuk buta warna, di kelas satu persatu kusuruh siswaku untuk menyebutkan angka yang tertulis di buku itu hingga tiba giliran Doni yang tak bisa menyebut satupun angka yang ada di buku itu. Aku menyuruhnya untuk duduk kembali, kutanya pada Doni, mengapa ia tidak bisa menyebut angka itu seperti teman-temannya. Doni dengan lantang berkata bahwa ia mengidap penyakit buta warna. Kutanya lagi pada teman teman Doni apakah selama kalian bergaul dengan Doni ada  yang sempat tertular penyakit yang sama dengan Doni, serentak mereka menjawab “tidaaaakkkkkkkkkkk...”,..”Coba baca buku kalian mengenai penyakit genetis di halaman 34!”kataku memerintah. Denga sigap semua anak membeca buku paketnya. “Digongkan penyakit apa buta warna itu anak anak?”tanyaku. “Penyakit genetis Bu,” jawab mereka serempak. “Apakah penyakit genetis itu menular anak-anak?”tanyaku lagi. “tidaaakkk Bu”jawab mereka lagi. “Lalu selain buta warna penyakit genetis lainnya apa lagi ya?”aku mulai memancing pengetahuan mereka. “Albino Bu!”, jawab Anggi dari pojok depan. “Hemofili Bu!” celetuk Karis sambil tersenyum, ‘Thalasemia, Diabetes”jawab Tias. Aku tersenyum, dan memuji mereka. “Lalu bagaiamana dengan Rina?”tanyaku sekali lagi. Tiba tiba kelas menjadi hening semua terdiam, tidak ada suara. Sekilas aku melirik Rina, ia terlihat tertunduk ketika namanya disebut. “Sama halnya dengan Doni, Rina juga memiliki penyakit genetis, dan seperti yang kalian utarakan tadi penyakit genetis bukanlah penyakit menular, lalu mengapa perlakuan kalian ke Doni berbeda dengan perlakuan kalian ke Rina?”tanyaku lagi sambil memandang siswa siswaku satu persatu. Mereka terlihat saling pandang dengan teman sebangkunya, bahkan ada beberapa anak berbisik bisik di belakang. Kupanggil Rina untuk maju ke depan kelas, dengan terpaksa Rina menuruti perintahku ia berdiri tepat disampingku. Kupeluk Rina dan kugenggam tangannya di depan kelas IX G, anak anak menahan pekiknya...”aaaahhhhh”. “Lihatlah anak anakku, tidak akan terjadi apa apa dengan Ibu juga jikalau kaliaan berperilaku sama seperti Ibu terhadap Rina. Kalian tidak akan tertular, coba kalian bayangkan jika seandainya kalianlah atau saudara kalian yang ada diposisi Rina, tegakah kalian mengucilkannya dan menganggap Rina seolah olah tidak ada di kelas ini. Sementara hati Rina sakit dan menjerit meminta sekedar kasih pertemanan dari kalian”. Tiba-tiba Rina terisak, ia tidak kuasa lagi memendam air matanya, Rina menangis sesenggukan, ia menumpahkan semua di dada gurunya, ia menangis di depan teman-temannya, tangis yang dahulu kerap ia sembunyikan, isak yang dahulu sering ia tahan agar terlihat tegar dimata siapapun yang meamandangnya. Ia tak perlu rasa kasihan, juga tak perlu rasa iba. Tapi kali ini semua batu yang menyesak dadanya sudah terpecahkan.

Karis yang merupakan sekretaris di kelas IX G maju menghampiriku dan Rina, ia mengulurkan tangannya ke arah Rina dan berkata”Maafkan perlakuan kami ya Rin, tak sengaja kami sudah melukai perasaanmu, kebodohan dan rasa takut kami membuat kami menjadi teman yang buruk”, Karis pun kemudian memeluk Rina dengan hangat, ada senyum kecil yang tersungging di sudut bibir Rina. Tiba-tiba dari tempat duduk belakang Doni mengangkat tangannya. “Bu Guru, biar Rina sekelompok sama saya aja ya Bu” belum sempat aku mengiyakan Karis sudah lebih dulu menggenggam tangan Rina dan berkata “Gak lah Don...biar Rina jadi kelompokku aja.”sembari nyengir kuda ke arah Doni. Hal itupun mengundang gelak tawa di kelas itu. Rina mengangguk ke arah Karis, dia berterimakasih kepada Karis dan Doni. Lalu Rina mendekatiku, mengambil tanganku dan menciumnya berulang kali.”Ibu terimakasih katanya lirih dengan masih membawa suasana haru.

 Hari itu aku telah menepati janjiku untuk mencarikan kelompok belajar untuk Rina. Kelompok yang menerimanya tanpa paksaaan bahkan Rina sempat diperebutkan oleh dua kelompok.  Itu membuat aku menjadi Guru yang paling bahagia di sekolah ini. Misi pertamaku di sekolah yang baru membuahkan senyum bahagia di wajah siswa siswaku. Dua bulan semenjak kejadian itu nilai-nilai Rina jauh berkembang pesat. Dulu jika nilainya lebih banyak KKM kini angka delapan dan sembilan mewarnai lembar kerjanya. Aku turut merasa bersyukur dan turut senang akan pencapaiannya saat ini. Tak ada lagi panggilan si kulit bersisik untuk Rina atau si Bau Tengik, yang ada adalah penerimaan dan masuknya pemahaman dari ilmu pengetahuan yang mengubah pola pikir dan pandangan siswa siswiku terhadap sosok Rina. Semoga kedepannya anak anak akan lebih dapat belajar dengan baik, menggunakan pengetahuan untuk berlogika sehingga pengatahuan itupun dapat menuntun jalan hidup mereka menjadi lebih baik. 



MEMBANGUN JIWA DAN RAGA SISWA MELALUI SEKAR GANA ( Inovasi Implementasi Kurikulum Merdeka di SMP Negeri 1 Amlapura)

                             MEMBANGUN JIWA DAN RAGA SISWA MELALUI SEKAR GANA  ( Inovasi Implementasi Kurikulum Merdeka di SMP Negeri 1 Amla...