Kelompok
Untuk Rina
Karya
: Ni Putu Damayanti,S.Pd
Aku
adalah seorang Guru IPA di sebuah SMP di kota amlapura kabupaten paling Timur
Provinsi Bali, sebelum aku ikut suami untuk pindah ke kota ini semula aku
adalah Guru di sebuah SMA Negeri. Perbedaan tempat mengajar dan usia
perkembangan siswa yang berbeda membuat aku harus sesegera mungkin beradaptasi
dengan siswa siswi disini. Tidak mudah memang, namun sebagai seorang Guru aku
harus siap menghadapi berbagai tipe murid dan permasalahan yang harus aku
dapatkan solusinya. Hari pertama aku memasuki kelas IX G, aku dikejutkan oleh
suara ribut dari kelas tersebut, kudengar suara anak laki laki berteriak teriak
untuk menyuruh teman-temannya agar diam, karena melihatku sudah ada diambang
pintu kelas. “Selamat pagi anak anak” sapaku untuk mengubah fokus mereka ke
arahku, serentak mereka menjawab “ selamat pagi Bu...”. Segera kuperkenalkan
diri dan kuselipkan candaan di sela selanya agar suasana di kelas menjadi lebih
nyaman. Mulailah aku mengajar materi IPA di depan kelas, selain itu aku
utarakan bahwa penilaian nanti meliputi nilai sikap, nilai kognitif atau
pengetahuan dan keterampilan. Tak lupa aku juga meminta mereka membuat kelompok
belajar untuk kegiatan praktikum IPA, aku meminta kelompoknya dicampur saja ada
siswa laki-laki dan siswa perempuan. Aku berikan waktu mereka untuk mencari
sendiri teman teman sekelopmpoknya, lalu aku meminta ketua kelompok yang
terpilih menyetorkan nama-nama kelompoknya.
Sambil
mengisi jurnal harian guru aku mengamati perilaku muridku, ada yang berebut
temannya, ada juga yang sudah mencatat nama nama kelompoknya. Namun di tengah
keseruan mereka mencari anggota kelompok ada seorang anak perempuan yang sedari
tadi tidak bergeming dari tempat duduknya. Ada bulir bening yang mengaca di
pelupuk matanya, kuperhatikan anak itu dari ujung rambut samapai kakinya,
rambutnya panjang terjalin dua dengan rapi, postur tubuhnya ramping, dengan
kaca mata yang menghias wajahnya yang mungil. Belum selesai aku mengamatinya,
bel tanpa waktunya istirahat berbunyi, aku segera mengakhiri pelajaran dan
meminta nama kelompok yang sudah mereka buat untuk dikumpulkan. Bergegas aku
menuju ruang guru, sambil menyambar botol minumku yang kuletakkan diatas meja, kuperiksa
nama nama siswa di kelas IX G tersebut untuk memastikan semua sudah ada di
dalam kelompoknya masing-masing. Betapa terkejutnya aku ketika aku baru sadar
bahwa ada satu siswa yang tidak tergabung dalam kelompok manapun di kelas
tersebut. “Rina Natasya Ayundari”, kueja nama siswaku perlahan, dengan rasa
penasaran aku buka laptopku dan kucari file daftar nilai kelas VIII semester
lalu di file Drive SMP ini, kucari nama Rina Natasya ayundari, lalu kulihat
deretan angka angka yang tertulis disana, semua hanya KKM, tidak ada nilai yang
bagus semua hanya rata rata saja.bahkan untuk nilai senibudaya dan prakarya
berada di bawah KKM. Tiba tiba dari arah
belakang aku dikejutkan oleh suara yang memanggilku. “Permisi Bu Guru”, sapa
seseorang. Aku memalingkan kepalaku dan tersenyum menyambut orang tersebut yang
tak lain adalah siswa di kelas IX G yang tadi sempat kuamati. “Ayo nak silahkan
duduk dulu!”kupersilahkan siswaku untuk duduk di kursi didepan mejaku sehingga
posisi aku dan anak itu saling berhadapan. “ Ada apa nak?, kamu mencari Ibu”
kataku menimpali. Dengan gugup dan ragu anak itu mulai berbicara” Maaf Bu,
boleh tidak saya tidak berkelompok dalam membuat tugas praktikum Bu?, saya
ingin belajar sendiri saja Bu” katanya terbata. “Sebentar, apa kamu Rina?’tanyaku
padanya. “Iya betul Bu, maaf tadi saya belum sempat memperkenalkan nama saya. “Kenapa
kamu tidak ingin belajar berkelompok Nak? “aku menelisik keinginan anak itu
sembari kembali kulanjutkan pengamatanku kepadanya yang sempat terhenti waktu
di kelas, aku terhenyak ketika melihat kulit dari Rina, kulitnya putih, namun
ada kelupasan kelupasan kulit ari yang hampir menganga di sekujur tubuhnya,
kuperhatikan kelopak mata Rina juga jarang berkedip kendatipun ia sedang
berbicara. Selain itu ada aroma tidak sedap yang tercium oleh hidungku, yang
aku pastikan itu berasal dari tubuh Rina. Aku segera tersadar bahwa Rina
mengidap penyakit Ichtyosis, atau yang biasa disebut penyakit kulit bersisik,
sebagai Guru IPA apalagi basicku adalah Ilmu Biologi aku sempat belajar bahwa
beberapa penyakit ada yang menular dan ada juga yang tidak menular dan
diturunkan dari Gen Orang tuanya, atau disebut penyakit Genetis, salah satu
penyakit genetis atau bawaan dari lahir adalah penyakit kulit yang diderita
oleh Rina. Aku mengerti sekarang mengapa Rina ingin belajar sendiri saja dan
tidak ingin berkelompok, mungkinkah dia malu dengan kondisi tubuhnya?, aku
bertanya dalam hati.
“Saya
takut menulari teman teman Bu, saya punya penyakit kulit’, sambil meremas
jarinya ia menuturkan masalahnya padaku. “Teman-teman juga menjauhi saya dan
tidak berani dekat dekat saya, dari kecil saya memang sudah sering dikucilkan,
saya sering sedih kadang saya merasa kesepian, ingin juga punya teman bercanda
dan bermain......” ia terdiam sejenak sembari menelan ludahnya, “ Tapi tidak
mengapa sih Bu saya rela kok, asal saya tidak menularkan penyakit ini pada
teman teman saya”. Aku menghela napas lalu aku mulai berpikir bagaimana cara
menolong Rina, aku tahu siswa siswaku mungkin hanya salah paham dan tidak tahu
apa yang sebenarnya terjadi dengan rina, karena minimnya pengetahuan mereka.
besok aku akan ke kelas itu dan menemukan kelompok untuk rina,apalagi materi
yang kuajarkan besok adalah tentang genetika, aku akan mengedukasi mereka,
gumamku dalam hati. Aku jadi sedikit paham bisa saja selama ini Rina tertekan
dan tidak bisa belajar maksimal karena ia tidak punya teman diskusi sehingga
nilai nilainya selama ini aku kategorikan sangat jelek. Akhirnya aku menyuruh
Rina untuk kembali ke kelasnya, dan aku berjanji besok akan membuat keputusan
untuk Rina mengenai kelompok belajarnya. Rina yang masih dalam keadaaan bingung
menuruti perintahku, dengan langkah lemah kulihat ia menyusuri koridor kelasnya
dan menghilang di balik pintu.
Keesokan
hari, aku kembali mengajar di kelas IX G aku dengan semangat membawa buku tes
untuk buta warna, di kelas satu persatu kusuruh siswaku untuk menyebutkan angka
yang tertulis di buku itu hingga tiba giliran Doni yang tak bisa menyebut
satupun angka yang ada di buku itu. Aku menyuruhnya untuk duduk kembali,
kutanya pada Doni, mengapa ia tidak bisa menyebut angka itu seperti
teman-temannya. Doni dengan lantang berkata bahwa ia mengidap penyakit buta
warna. Kutanya lagi pada teman teman Doni apakah selama kalian bergaul dengan Doni
ada yang sempat tertular penyakit yang
sama dengan Doni, serentak mereka menjawab “tidaaaakkkkkkkkkkk...”,..”Coba baca
buku kalian mengenai penyakit genetis di halaman 34!”kataku memerintah. Denga
sigap semua anak membeca buku paketnya. “Digongkan penyakit apa buta warna itu
anak anak?”tanyaku. “Penyakit genetis Bu,” jawab mereka serempak. “Apakah
penyakit genetis itu menular anak-anak?”tanyaku lagi. “tidaaakkk Bu”jawab
mereka lagi. “Lalu selain buta warna penyakit genetis lainnya apa lagi ya?”aku
mulai memancing pengetahuan mereka. “Albino Bu!”, jawab Anggi dari pojok depan.
“Hemofili Bu!” celetuk Karis sambil tersenyum, ‘Thalasemia, Diabetes”jawab
Tias. Aku tersenyum, dan memuji mereka. “Lalu bagaiamana dengan Rina?”tanyaku
sekali lagi. Tiba tiba kelas menjadi hening semua terdiam, tidak ada suara.
Sekilas aku melirik Rina, ia terlihat tertunduk ketika namanya disebut. “Sama
halnya dengan Doni, Rina juga memiliki penyakit genetis, dan seperti yang
kalian utarakan tadi penyakit genetis bukanlah penyakit menular, lalu mengapa
perlakuan kalian ke Doni berbeda dengan perlakuan kalian ke Rina?”tanyaku lagi
sambil memandang siswa siswaku satu persatu. Mereka terlihat saling pandang
dengan teman sebangkunya, bahkan ada beberapa anak berbisik bisik di belakang.
Kupanggil Rina untuk maju ke depan kelas, dengan terpaksa Rina menuruti
perintahku ia berdiri tepat disampingku. Kupeluk Rina dan kugenggam tangannya
di depan kelas IX G, anak anak menahan pekiknya...”aaaahhhhh”. “Lihatlah anak
anakku, tidak akan terjadi apa apa dengan Ibu juga jikalau kaliaan berperilaku
sama seperti Ibu terhadap Rina. Kalian tidak akan tertular, coba kalian
bayangkan jika seandainya kalianlah atau saudara kalian yang ada diposisi Rina,
tegakah kalian mengucilkannya dan menganggap Rina seolah olah tidak ada di
kelas ini. Sementara hati Rina sakit dan menjerit meminta sekedar kasih
pertemanan dari kalian”. Tiba-tiba Rina terisak, ia tidak kuasa lagi memendam
air matanya, Rina menangis sesenggukan, ia menumpahkan semua di dada gurunya,
ia menangis di depan teman-temannya, tangis yang dahulu kerap ia sembunyikan,
isak yang dahulu sering ia tahan agar terlihat tegar dimata siapapun yang
meamandangnya. Ia tak perlu rasa kasihan, juga tak perlu rasa iba. Tapi kali
ini semua batu yang menyesak dadanya sudah terpecahkan.
Karis
yang merupakan sekretaris di kelas IX G maju menghampiriku dan Rina, ia
mengulurkan tangannya ke arah Rina dan berkata”Maafkan perlakuan kami ya Rin,
tak sengaja kami sudah melukai perasaanmu, kebodohan dan rasa takut kami
membuat kami menjadi teman yang buruk”, Karis pun kemudian memeluk Rina dengan
hangat, ada senyum kecil yang tersungging di sudut bibir Rina. Tiba-tiba dari
tempat duduk belakang Doni mengangkat tangannya. “Bu Guru, biar Rina sekelompok
sama saya aja ya Bu” belum sempat aku mengiyakan Karis sudah lebih dulu
menggenggam tangan Rina dan berkata “Gak lah Don...biar Rina jadi kelompokku
aja.”sembari nyengir kuda ke arah Doni. Hal itupun mengundang gelak tawa di
kelas itu. Rina mengangguk ke arah Karis, dia berterimakasih kepada Karis dan
Doni. Lalu Rina mendekatiku, mengambil tanganku dan menciumnya berulang
kali.”Ibu terimakasih katanya lirih dengan masih membawa suasana haru.
Hari itu aku telah menepati janjiku untuk
mencarikan kelompok belajar untuk Rina. Kelompok yang menerimanya tanpa
paksaaan bahkan Rina sempat diperebutkan oleh dua kelompok. Itu membuat aku menjadi Guru yang paling
bahagia di sekolah ini. Misi pertamaku di sekolah yang baru membuahkan senyum
bahagia di wajah siswa siswaku. Dua bulan semenjak kejadian itu nilai-nilai Rina
jauh berkembang pesat. Dulu jika nilainya lebih banyak KKM kini angka delapan
dan sembilan mewarnai lembar kerjanya. Aku turut merasa bersyukur dan turut
senang akan pencapaiannya saat ini. Tak ada lagi panggilan si kulit bersisik
untuk Rina atau si Bau Tengik, yang ada adalah penerimaan dan masuknya
pemahaman dari ilmu pengetahuan yang mengubah pola pikir dan pandangan siswa
siswiku terhadap sosok Rina. Semoga kedepannya anak anak akan lebih dapat
belajar dengan baik, menggunakan pengetahuan untuk berlogika sehingga
pengatahuan itupun dapat menuntun jalan hidup mereka menjadi lebih baik.